Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengupas Raja Candu Yogyakarta Memoar Ko Ho Sing 1823-1878



Program Studi Ilmu Sejarah Fisip Unnes menggelar diskusi bedah buku yang berjudul ‘Raja Candu Yogyakarta: Memoar Ko Ho Sing 1823-1878. Sebagai narasumber adalah Sri Margana Dosen sekaligus peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM). 

Dia mengulas perjalanan penelitian terhadap manuskrip langka yang kini disimpan di Oriental Collection Universitas Leiden. Manuskrip ini merupakan memoar Ko Ho Sing seorang tokoh Tionghoa yang hidup pada abad ke 19 dan dikenal sebagai salah satu pengusaha candu paling berpengaruh di Yogyakarta. 

"Saya mengenal manuskrip tersebut pada tahun 1999. Balik lagi tahun 1999 ke Belanda. Melanjutkan riset sekitar 1 bulan. Yang membuat saya tertarik adalah karena judulnya. Mengenang Ko Ho Sing,” kata dia. 

“Jadi ini tahun itu saya mencoba untuk melihat langsung manuskrip tersebut. Begitu melihat saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama,” ungkap dia. 




Ayah Ko Ho Sing imigran kedua yang datang ke Semarang Magelang dan pindah ke Yogyakarta. Ayahnya sudah lama meninggal. Dia lama tinggal bersama ibunya. Dengan empat saudara. 

“Jawa ini sudah terkenal sebagai hidup baru. Banyak cerita sukses di Jawa yang ditempati oleh orang Tionghoa. Di desanya ini sudah ada saudaranya yang tinggal di Jawa sejak dulu. Jadi dia pamitan sama ibunya mau hijrah ke Jawa dan diizinkan,” terang dia. 

Singkatan  dia mendarat ke Semarang. Di sini mendapatkan  informasi kalau saudaranya tinggal di Semarang. Dia langsung menunju ke rumah saudaranya.  Dikasih kabar pindah ke Jogja. Akhirnya menyusul ke Jogja. Kemudian diajari bisnis. Pertama diajari tempat penggilingan padi. Setelah itu diajari jualan lontong. 



“Yang paling menguntungkan adalah dia diajari membuka cukai dari gerbang tol. Dari satu distrik ke distrik lain ada gerbang tol,” jelasnya. 

Pada tahun 1825 meletus perang Jawa. Kemudian tahun 1826 menjadi sasaran amukan dari pasukan Pangeran Diponegoro. Pemerintah Belanda pengungsian orang Tionghoa agar tidak diserang pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka mengungsi dengan ke sana. 

“Pada tahun 1830 perang Jawa selesai. Keadaan Jawa mulai tenang. Pengungsian kembali. Sayang umurnya tidak panjang. Ko Ho Sing masih berusia belasan tahun. Terpaksa mengikuti usaha bisnis ayahnya,” jelasnya. 

Ko Ho Sing sukses besar ketika jualan candu. Zaman Belanda bisnis  jualan candu ini legal. Dari situ membangun dagang. Bahkan  membuat kongsing untuk bersaing dengan pedagang lain.

Ko Ho Sing dikenal dermawan. Dia sering memberikan sembarangan kepada organisasi ilmiah Hindia Belanda dan komunitas spiritual Tionghoa di Yogyakarta. Tak heran dia mendapatkan penghormatan. 



“Ketika dia mendapatkan gelar diberitakan melalui media zaman dahulu. Itu mendapatkan ucapkan dadi koleganya. Itu juga mendapatkan badan nasional semacam LIPI kalau sekarang. Kenapa dia mendapatkan penghargaan karena dia sering menyumbang untuk penelitian orang Belanda. Karena waktu itu dia dermawan dan memberikan bantuan kepada sekolah kolonial,” jelasnya. 

Yang menarik adalah Yogyakarta mempunya tempat orang Belanda bersenang senang diskusi ngobrol ngopi. Orang pribumi tidak boleh masuk. 

Dia orang Tionghoa satu-satunya yang bisa menjadi anggota. Ini ada bukti manaskurip kwitansi ketika menjadi anggota. 

Kemudian ada sertifikat nikah. Ko Ho Sing itu istrinya dua selirnya empat atau lima. Dia terpaksa menikah lagi istri yang kedua karena ingin mempunya anak laki-laki karena dengan istri pertama tidak bisa mendapatkan anak laki-laki.  Anaknya perempuan semua. 

“Salah satu perempuan nikah dengan Tionghoa dengan orang Semarang. Ini merupakan arsip waktu nikah,” jelasnya. 



Ko Ho Sing ini sangat mencintai kebudayaan Jawa. Hidup seperti Raja Jawa. Istri permaisuri dua selirnya banyak. Datang kemana-mana selalu membawa rombongan banyak. Seperti penari gamelan. 

Bahkan wisata selalu membawa rombongan gamelan. Dia punya seperangkat gamelan lengkap. Dua di Magelang Yogyakarta dan Solo. 

“Semua ini sudah tidak terlacak karena di Jogja sudah menjadi pasar,” jelasnya. 

Dia juga senang ziarah ke Jawa. Seperti di Juwana Pati dan lainnya. Dia dikenal orang yang dermawan. Saudaranya ada yang menikah diberikan hadiah dan segala macam.

Posting Komentar untuk " Mengupas Raja Candu Yogyakarta Memoar Ko Ho Sing 1823-1878"